Masker, Politik, dan Fashionista

11 Juni 2020

Artikel

MASKER, POLITIK, DAN FASHIONISTA Penulis: Eko Sulistyo Di era pandemi Covid-19, masker wajah menjadi sarana untuk mencegah penyebaran Covid-19. Namun di tangan desainer mode, masker tidak hanya sebagai penutup wajah untuk melindungi dari virus, tapi menjadi tren mode yang memiliki personal “style” sendiri. Adapun di Amerika Serikat (AS), masker adalah simbol politik yang merepresentasikan tindakan politik tentang cara menghadapi Covid-19 diantara pendukung kubu liberal dan konservatif. Dalam artikel di APNews.com, 8 Mei 2020, “Face masks make a political statement in era of coronavirus”, Presiden Donald Trump telah menolak untuk memakai masker dalam beberapa kesempatan. Trump meyakini citra dan peluang terpilih kembali bisa rusak jika mengenakan masker karena akan dianggap lebih peduli dengan kesehatan masyarakat daripada pemulihan ekonomi. Sebaliknya, mantan Wakil Presiden Joe Biden menyebut Trump "bodoh" karena menyerah pada perilaku "palsu maskulin" daripada mengenakan masker. Bagi para pendukung Trump, menolak mengenakan masker adalah sikap untuk menunjukkan seorang Republikan, dan keinginan membuka kembali kegiatan ekonomi negara. Sementara bagi pendukung liberal, tindakan pencegahan yang maksimal dan penguncian lebih lama akan memperlambat penyebaran virus. Pengenakan masker dan perdebatan “kesehatan versus ekonomi” menjadi aspek baru dalam perang budaya di Amerika Serikat sejak negeri ini dinyatakan terinfeksi Covid-19. Sejak dunia dilanda Covid-19, banyak negara telah memberlakukan penggunaan masker kepada warganya di tempat umum. Hal ini untuk mencegah transmisi tetesan virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. Meski efektifitasnya masih diperdebatkan, namun masker telah menjadi bagian dari perubahan gaya hidup selain cuci tangan dan menjaga jarak fisik dalam beradaptasi dengan Covid-19. Berbeda dengan para politisi, kini para desainer mode mulai merancang tampilan masker sebagai bagian dari tren mode yang memiliki kreatifitas seni. Mereka melihat peluang pasar dari tren masker yang bisa mendatangkan keuntungan di tengah pandemi. Mereka seolah mendekronstruksi pendapat bahwa wajah yang terbuka mewakili modernitas dan pembebasan dari agama, patriarki, atau yang lainnya. Seperti ditulis The Economist dalam dua artikelnya di edisi 30 Mei 2020, “Masks and covid-19” dan “Paris masked”, ada fakta yang menarik bahwa pasar masker berkembang baik di pusat mode dunia di Paris. Sejak pemerintah Perancis mewajibkan pengenakan masker di tempat umum pada 11 Mei, Paris yang elegan dan memiliki cita rasa tinggi telah mengganti masker bedah warna biru pucat dengan tampilan menyesuaikan “coronavirus chic”. Masker hitam kemudian menjadi salah satu tren mode di kawasan modis ibukota Perancis. Ketika Presiden Emmanuel Macron mampir di sebuah sekolah mengenakan masker biru tua dengan bendera Perancis kecil di sudutnya, pabrikannya dibanjiri permintaan pesanan. Kini banyak model masker edisi terbatas di Paris dengan garis-garis Breton, simbol gaya militer Perancis terjual habis dalam hitungan menit. Sekarang banyak negara dimana pemerintahnya mengharuskan orang mengenakan masker ketika berada di ruang publik. Banyak orang berpikir masker melindungi mereka dari hal-hal buruk di udara. Namun dalam kasus Covid-19, penularan virus disebabkan oleh tetesan (droplets) dan bukan penularan melalui udara. Orang yang paling mungkin terinfeksi adalah yang telah melakukan kontak signifikan dengan seseorang yang terinfeksi. Masker menahan tetesan pernapasan yang membawa virus, sehingga berisiko lebih aman. Dalam masa normal, pemerintah harus melakukan test uji kepada masyarakat secara acak untuk mendapatkan bukti kuat sebelum memutuskan kebijakan baru di bidang kesehatan. Tapi karena bukan waktu yang normal, dan kebutuhan akan kecepatan membuat itu tidak mungkin. Keberhasilan negara-negara Asia Timur dalam mengendalikan Covid-19, telah mendukung argumen penggunaan masker. Di Jepang dengan budaya memakai masker paling kuat di dunia, berhasil menjadi salah satu negara dengan tingkat infeksi Covid-19 terendah di dunia. Di banyak kota di Asia Timur, masker telah dipakai selama bertahun-tahun untuk melindungi dari polusi atau penyakit. Di Barat, mengenakan masker seperti asing. Tapi di semua negara dimana masker menjadi kebiasaan umum, epidemi Covid-19 dapat ditekan cepat. Seperti ditulis Alfred W. Crosby (2003), “America"s Forgotten Pandemic: The Influenza of 1918”, masker juga menjadi simbol patriotisme dan berperan menekan pandemi flu Spanyol 1918 dan 1919 di AS. Poster-poster dicetak dengan gambar laki-laki dan anak-anak dengan seruan, “Gunakan sapu tangan dan lakukan bagianmu untuk melindungiku!". Kini masker tidak hanya menjadi pelindung wajah yang dianjurkan untuk mencegah infeksi Covid-19. Selain di Paris, di Ibukota Lithuania, Vilnius, pada awal Mei juga berlangsung pekan mode khusus sesuai masa Covid-19 (The Jakarta Post, 6/5/2020). Tanpa catwalk, hanya papan iklan dan tidak ada kostum mewah yang dipajang, kecuali hanya masker wajah. Dua puluh satu papan iklan tersebar di sekitar kota Warisan Dunia UNESCO menampilkan foto-foto pria, wanita dan anak-anak mengenakan masker sebagai bagian dari "Mask Fashion Week". Masker bisa tampil kreatif dalam industri fashion dan gaya hidup baru selama pandemi. ---------- Penulis adalah Sejarawan dan Deputi di Kantor Staf Presiden (2015-2019). *Telah diterbitkan di Bisnis Indonesia tanggal 11 Juni 2020   Photo by Evgeni Tcherkasski on Unsplash